Selasa, 26 November 2013


TIGA SEKAWAN
Oeh : Alwin H. Usman
Bapak Guru Kasih Kita Pelajaran Terlalu Banyak, Kita bisa Pusing-Pusing Streesss”’. Itulah kalimat pertama yang mengesankan dan membuatku terkejut, padahal baru pertama kali aku masuk dan mengajar di kelas Rangkap 4 dan 5. Selain tulisan Nikanor (Kanor) dalam selembar kertas yang dilemparkan kepada Laharoy anak kelas 5 itu. Ada juga hal lain yang terjadi di dalam kelas ini, tangisan Gilberto (Hendra) yang saat itu belum bisa membaca, serta tangisan Viktor (sola) yang tidak bisa menghitung jumlah uang sampai seribuan. Tiga kejadian unik dalam sehari oleh tiga orang siswaku, Mereka adalah TIGA SEKAWAN yang memberiku pelajaran dalam hal mengajar. Begitulah awal mula perkenalanku dengan mereka bertiga.
Sore harinya dihari pertama aku berada di Lokasi Mengajar Dusun Beang, aku berjalan-jalan di dalam kampung, tak lupa kusempatkan singgah di rumahnya Nikanor dan Sola. Sedikit demi sedidkit informasi tentang mereka berdua mulai kudapatkan hasil diskusi dengan orang tua mereka masing-masing. Sedangkan untuk Hendra, tak perlu jauh-jauh untuk mengetahui anak ini, karena orang tuanya adalah guru di sekolah tempatku mengajar.. Oo iya sekolahnya hanya satu SD INPRES BEANG yang terletak jauh dari pusat Desa, lengkapnya di Dusun Beang, Desa Aramaba, Kecamatan Pantar Tengah, Kabupaten Nusa Tenggara Timur.
Hari kedua di sekolah, tidak tampak dua wajah yang kutunggu, Sola dan Hendra mereka hari ini tidak hadir. Entah takut atau marah tak ada yang tau alasannya, Kanor teman dekat merekapun tak tau kemana mereka berdua. Ibu Guru, orang tua hendra juga tak tau kemana hendra pergi, padahal tadi pagi dia sudah berseragam sekolah kata bu guru. Sorenya aku ke rumahnya Sola dan Hendra ditemani Kanor yang mulai akrab denganku, di rumahnya Hendra kutemui dia yang sedang duduk sambil marah-marah karena habis dimarahi ibunya. Ku mulai bercerita dengannya, awalnya dia diam saja namun dengan bantuan Kanor ceritanya mulai nyambung, dan ahirnya mulai ku mengeri kenapa dia tak mau datang ke sekolah, “sa takut bapak guru suruh sa baca, sa tidak tau baca bapak guru”, sambil tersenyum dan dengan sedikit rayuan aku mengajak dia ke rumahnya sola, untuk menemaniku jalan-jalan mengelingi kampung sambil berfoto-foto.
Hari ketiga di sekolah, kelasnya lengkap lagi dengan hadirnya Sola dan Hendra, namun masih terlihat raut wajah takut dalam diri Sola dan Hendra, ku mulai mengganti metode dan cara mengajar, sedikit demi sedikit metode pendekatan mulai berhasil, hingga waktu pulang sekolah Hendra berkata “Bapak guru, sebentar kita jalan-jalan lagi dan ajar saya cara membaca”. Dengan senyuman andalan kutawarkan, bagaimana kalau kita mancing, dengan semangat mereka bertiga mau. Tak butuh waktu lama kedekatanku mulai terjalin dengan mereka bertiga, hingga terkadang mereka sering menemaniku tidur di rumah tinggal , Hendra yang sering datang belajar membaca disaat aku sedang sibuk memasak, Kanor yang tiap pagi datang mengantarkan ikan segar hasil tangkapan kakanya.
Hari demi hari mereka bertiga yang sering menemaniku, dari mandi bersama di sumur dekat kampung, menimba air, mencari kayu bakar bahkan mendaki gunung untuk pergi kekebun memetik kelapa. Disela-sela kegiatan-kegiatan yang kami lakukan bersama, kadang kuselipkan cerita-cerita dan kuis yang berkaitan dengan pelajaran, siapa yang berhasil menjawab akan menerima hadiah, jelas saja hadiahnya permen atau snack, dan terkadang mendapatkan hadiah yang luar biasa, yaitu tepuk tangan. Setelah kedekatam itu, banyak yang berubah. Kanor yang semakin rajin belajar dan tidak mengeluh lagi dalam mengerjakan tugas-tugas, Hendra yang mulai lancar membaca, dan Sola yang sudah bisa menghitung uang dalam jumlah yang banyak, serta anak-anak kelas lima yang awalnya susah dalam berhitung perkalian, kini sudah bisa perkalian dengan lancar.
Yaa,, Begitulah selama setahun aku berada di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal ditemani oleh tiga sekawan. Sepatu usang yang sering kupakai mendaki gunung akan berganti dengan sepatu untuk ke mall, berjalan kaki akan tergantikan dengan kenderaan bermotor, makan sayur daun kelor akan tergantikan dengan sayur kesukaanku, rumah tinggal yang sepi akan bergantikan rumahku idamanku. Selamat jalan Bapak Ibu guru yang selalu membimbing, banyak pelajaran yang bisa diambil. Selamat Tingggal Bap Tua dan Mam Tua yang selalu menjagaku selama berada di dusun Beang. Siswa-siswaku belajarlah yang rajin, dan untuk Tiga Sekawan yang selalu menemani hari-hariku, terima kasih sudah mau menjadi sahabatku.
“Bapak Guru Alwin sudah jalan, tidak balik lagi” : Nikanor. Itulah kalimat terakhir di secarik kertas yang diberikan Nikanor kepadaku..