TIGA SEKAWAN
Oeh : Alwin H. Usman
“Bapak
Guru Kasih Kita Pelajaran Terlalu Banyak, Kita bisa Pusing-Pusing Streesss”’.
Itulah kalimat pertama yang mengesankan dan membuatku terkejut, padahal baru
pertama kali aku masuk dan mengajar di kelas Rangkap 4 dan 5. Selain tulisan
Nikanor (Kanor) dalam selembar kertas yang dilemparkan kepada Laharoy anak
kelas 5 itu. Ada juga hal lain yang terjadi di dalam kelas ini, tangisan Gilberto
(Hendra) yang saat itu belum bisa membaca, serta tangisan Viktor (sola) yang
tidak bisa menghitung jumlah uang sampai seribuan. Tiga kejadian unik dalam
sehari oleh tiga orang siswaku, Mereka adalah TIGA SEKAWAN yang memberiku
pelajaran dalam hal mengajar. Begitulah awal mula perkenalanku dengan mereka
bertiga.
Sore harinya dihari pertama aku berada di
Lokasi Mengajar Dusun Beang, aku berjalan-jalan di dalam kampung, tak lupa
kusempatkan singgah di rumahnya Nikanor dan Sola. Sedikit demi sedidkit
informasi tentang mereka berdua mulai kudapatkan hasil diskusi dengan orang tua
mereka masing-masing. Sedangkan untuk Hendra, tak perlu jauh-jauh untuk
mengetahui anak ini, karena orang tuanya adalah guru di sekolah tempatku
mengajar.. Oo iya sekolahnya hanya satu SD INPRES BEANG yang terletak jauh dari
pusat Desa, lengkapnya di Dusun Beang, Desa Aramaba, Kecamatan Pantar Tengah,
Kabupaten Nusa Tenggara Timur.
Hari kedua di sekolah, tidak tampak dua
wajah yang kutunggu, Sola dan Hendra mereka hari ini tidak hadir. Entah takut
atau marah tak ada yang tau alasannya, Kanor teman dekat merekapun tak tau
kemana mereka berdua. Ibu Guru, orang tua hendra juga tak tau kemana hendra
pergi, padahal tadi pagi dia sudah berseragam sekolah kata bu guru. Sorenya aku
ke rumahnya Sola dan Hendra ditemani Kanor yang mulai akrab denganku, di
rumahnya Hendra kutemui dia yang sedang duduk sambil marah-marah karena habis
dimarahi ibunya. Ku mulai bercerita dengannya, awalnya dia diam saja namun
dengan bantuan Kanor ceritanya mulai nyambung, dan ahirnya mulai ku mengeri
kenapa dia tak mau datang ke sekolah, “sa
takut bapak guru suruh sa baca, sa tidak tau baca bapak guru”, sambil
tersenyum dan dengan sedikit rayuan aku mengajak dia ke rumahnya sola, untuk
menemaniku jalan-jalan mengelingi kampung sambil berfoto-foto.
Hari ketiga di sekolah, kelasnya lengkap
lagi dengan hadirnya Sola dan Hendra, namun masih terlihat raut wajah takut
dalam diri Sola dan Hendra, ku mulai mengganti metode dan cara mengajar,
sedikit demi sedikit metode pendekatan mulai berhasil, hingga waktu pulang
sekolah Hendra berkata “Bapak guru,
sebentar kita jalan-jalan lagi dan ajar saya cara membaca”. Dengan senyuman
andalan kutawarkan, bagaimana kalau kita
mancing, dengan semangat mereka bertiga mau. Tak butuh waktu lama
kedekatanku mulai terjalin dengan mereka bertiga, hingga terkadang mereka
sering menemaniku tidur di rumah tinggal , Hendra yang sering datang belajar
membaca disaat aku sedang sibuk memasak, Kanor yang tiap pagi datang
mengantarkan ikan segar hasil tangkapan kakanya.
Hari demi hari mereka bertiga yang sering
menemaniku, dari mandi bersama di sumur dekat kampung, menimba air, mencari
kayu bakar bahkan mendaki gunung untuk pergi kekebun memetik kelapa.
Disela-sela kegiatan-kegiatan yang kami lakukan bersama, kadang kuselipkan
cerita-cerita dan kuis yang berkaitan dengan pelajaran, siapa yang berhasil
menjawab akan menerima hadiah, jelas saja hadiahnya permen atau snack, dan
terkadang mendapatkan hadiah yang luar biasa, yaitu tepuk tangan. Setelah
kedekatam itu, banyak yang berubah. Kanor yang semakin rajin belajar dan tidak
mengeluh lagi dalam mengerjakan tugas-tugas, Hendra yang mulai lancar membaca,
dan Sola yang sudah bisa menghitung uang dalam jumlah yang banyak, serta
anak-anak kelas lima yang awalnya susah dalam berhitung perkalian, kini sudah
bisa perkalian dengan lancar.
Yaa,, Begitulah selama setahun aku berada
di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal ditemani oleh tiga sekawan. Sepatu
usang yang sering kupakai mendaki gunung akan berganti dengan sepatu untuk ke
mall, berjalan kaki akan tergantikan dengan kenderaan bermotor, makan sayur daun
kelor akan tergantikan dengan sayur kesukaanku, rumah tinggal yang sepi akan
bergantikan rumahku idamanku. Selamat jalan Bapak Ibu guru yang selalu
membimbing, banyak pelajaran yang bisa diambil. Selamat Tingggal Bap Tua dan
Mam Tua yang selalu menjagaku selama berada di dusun Beang. Siswa-siswaku
belajarlah yang rajin, dan untuk Tiga Sekawan yang selalu menemani hari-hariku,
terima kasih sudah mau menjadi sahabatku.
“Bapak
Guru Alwin sudah jalan, tidak balik lagi” : Nikanor. Itulah kalimat terakhir di secarik kertas yang
diberikan Nikanor kepadaku..